Siapa bilang di Eropa bisa makan enak? Yang ada kelaparan
sampai terbawa mimpi.
Saya bersyukur lahir di keluarga yang berkecukupan. Walaupun
tidak bisa dibilang kaya, namun saya tidak pernah pusing soal makan
sehari-hari. Selama 20 tahun hidup, Alhamdulillah belum pernah merasakan
kelaparan karena tidak punya makanan (yang ada lapar karena puasa :p). Siapa
sangka, beberapa bulan yang lalu saya mengalaminya. Tepatnya saat saya jalan backpackeran di benua biru alias Eropa.
Di bus Eurolines dalam perjalanan Berlin-Paris yang lamanya
7 jam, saya meringkuk menahan lapar. Perut sudah melilit saking kosongnya. Melihat
bule di sebelah membuka bekal semangkuk buah-buahan segar, air liur langsung
menetes (dalam mulut, untungnya). Serius, belum pernah saya merasa selapar itu
sampai ngiler. Maklum sudah hampir dua
hari itu tidak makan. Karena tidak tahan, akhirnya saya bawa tidur saja. Namun
otak memang tidak bisa dibohongi. Saya yang tidak pernah mimpi kalau tidur di
jalan, malam itu memimpikan makanan yang berlimpah. Bayangkan, alangkah
kecewanya saat saya terbangun oleh suara batuk pak supir dan mendapati perut
saya masih melilit.
Kenapa saya tidak makan? Karena, untuk pertama kali dalam
hidup, saya tidak mampu beli makanan. Saya akui perjalanan ini sangat menguras
budget yang sudah terbatas. Saya menahan diri karena esok hari saya sudah akan
kembali ke Indonesia, dan di pesawat tentunya dapat jatah makan. Namun karena
sudah tak kuat, pada pemberhentian bus berikutnya, saya beli roti tawar
sebungkus seharga EUR 1.5 (IDR 24000). Namanya roti tawar memang hambar, tapi
roti ini rasanya kalah dibanding salah satu merk roti yang sering saya beli di
Jakarta.
Inilah alasan kedua saya tidak makan di Eropa. Di sana,
secantik apapun makanan ditata di piring, tidak akan menggoyang lidah seheboh
masakan sederhana warteg Indonesia. Selama dua minggu di sana, hanya beberapa
kali saya makan layak; dari paket konferensi yang jadi tujuan utama ke sana, ditraktir
host di Paris dan Budapest, dan ditraktir ibu-ibu Indonesia baik yang bertemu
di depan gereja Slovakia. Semuanya tampak enak. Tapi itu hanya tampaknya saja.
Ini makanan saya ketika konferensi di Groningen, Belanda.
Namanya pasta jamur, termasuk salah satu menu vegetarian yang disajikan panitia
konferensi. (Muslim adalah alasan ketiga saya kelaparan di Eropa. Cari makanan halal, sulit. Begitu ada, mahal,
hehe). Pasta jamur ini tampilannya sekelas restoran, ya, namun rasanya kalah
jauh dengan rendang Bu Eha yang buka lapak di dekat kos saya.
Yang ini grilled salmon, harganya EUR 18 (IDR 288000) sepiring.
Untungnya saya ditraktir seorang tante-tante Indonesia yang kebetulan bertemu
di jalan. Saat itu saya sedang kepanasan di depan gereja di Bratislva,
Slovakia. Tiba-tiba dengar seorang ibu menyapa dengan bahasa Indonesia. Senangnya,
bertemu orang Indonesia di tempat yang tidak terduga. Beliau pun dengan
royalnya mentraktir saya makan siang di kafe keren (satu-satunya makanan keren
saya selama dua minggu di Eropa!). Tampak menggoda sekali ya, Salmonnya? Tapi
ya jangan disamakan rasanya dengan pindang bandeng buatan mbah nun jauh di
Lamongan sana :”) Walaupun salmonnya segar, bumbunya cuma lemon yang ada di
ujung piring itu.
Kalau ini kita semua pasti sudah kenal, French Fries. Harganya
EUR 5 seporsi (IDR 80000). Saya makan ini di Brussel, Belgia, itu juga
ditraktir tante saya yang memang orang sana. Melimpah ruah, sausnya lumer,
tampak lezat bukan? Percayalah, masih lebih yahud singkong keju yang dimakan
panas-panas sembari hujan di teras rumah!
Rasa memang soal selera. Saya yang dibesarkan di Indonesia,
negeri yang memikat bangsawan Eropa dengan rempahnya ratusan tahun lalu, mana
kuat makan makanan yang bumbunya lemon doang?
Karena itulah, ketika pramugari di pesawat Amsterdam-Jakarta
yang membawa saya pulang menawarkan pilihan makanan “gulai ayam dengan buncis
kuning” atau “beef steak with potato
wedges”, dengan mantap saya menjawab “gulai ayam” J