Saya lagi suka banget dengan surat Al-An'am, lupa ayat berapanya, pokoknya kisah tentang Nabi Ibrahim mencari Tuhan. Dikisahkan Ibrahim yang tidak puas dengan berhala-berhala bikinan Ayahnya Azar, bertanya. "Kenapa Yah, kok masih menyembah berhala, padahal itu tuhan dibikin-bikin sendiri. Tidak pula ia bisa mendengar, apalagi menjawabmu. Menolong diri sendiri saja tidak bisa"
Ibrahim pun berjalan menyusuri muka bumi, sampai ia bertemu bintang, bulan, dan matahari. Semua dikiranya Tuhan. Semua dikaguminya, sampai akhirnya semua menghilang di ufuk barat. "Tuhan macam apa, aku tidak suka Tuhan yang ilang-ilangan"
Sampai akhirnya Tuhan yang sebenarnya, Tuhan dari bintang, bulan, matahari, menurunkan hidayah kepada Ibrahim. Sampai akhirnya ia menjadi seorang Nabi ulul azmi, alaihissalam.
Saya juga suka sekali dengan buku "99 cahaya di Langit Eropa", banyak sekali dikisahkan para muslim Eropa yang mayoritas lahir dan besar di benua sekuler, tidak mengenal Tuhan. Mereka pun harus mencari sendiri Tuhannya. Banyak cara, dari perkuliahan, minum vodka, sampai meditasi dan semuanya mentok, akhirnya berujung pada Tuhan yang hakiki.
Kalau kita telusuri lagi, manusia sejak dahulu kala, bahkan sebelum ia diturunkan ke rahim ibunya, sudah diambil sumpah bahwa ia akan menyembah Allah yang Maha Esa. "Alastu birobbikum? Tidakkah Aku ini Tuhanmu?" "Balaa, syahidnaa. Ya, kami bersaksi Engkaulah Tuhan." Lantas mengapa masih banyak orang ingkar yang melanggar sumpah mereka? Cuma satu alasan, orang tuanya lah yang membentuk mereka jadi Yahudi, Nasrani, Kafir, dsb dll.
Begitu juga dengan para muslim di Eropa sana. Mereka sudah distempel "ingkar" oleh orang tuanya, oleh lingkungannya. Ketika hati merasa tidak nyaman, berusaha menemukan fitrah hakiki hidup, mereka harus mencari sendiri di mana Tuhan dan kasihNya berada.
Mestinya mereka iri dengan saya. Saya yang lahir dan besar di kalangan keluarga muslim. Yang sejak lahir sudah dipaparkan dengan Tuhan, dengan kebesaranNya, dengan kemahaanNya dan nikmat hidayahNya. Sungguh hidup spiritualku kalau dibandingkan mereka-mereka itu beda banget. Sangat mudah jadi muslim di Indonesia, mayoritas, dengar adzan di mana-mana, masjid banyak, musholla banyak, bebas ngaji, bebas berhijab tanpa harus dicap teroris dan sebagainya.
Tapi kadang kutemukan diriku sendiri iri dengan mereka. Mereka menemukan Tuhan dengan cara masing-masing. Sendiri. Berjuang meraih hidayah yang sungguh tidak mudah di benua hedonis dan duniawi. Tapi bukankah ujung pencarian mereka tidak sia-sia? Bahwa Tuhan akhirnya meghargai usaha mereka dan merengkuh mereka dalam naungan rahmatNya? Aku cemburu. Aku tidak yakin dengan diriku sendiri. Ini sama saja dengan aku yang keterima di UI lewat jalur tanpa tes, fast track. Jalan mulus, langsung gol. Beda dengan teman-teman lain yang bersimbah peluh sikut menyikut lewat SIMAK, UMB, SNMPTN. Mereka sudah teruji, they are worth the struggle. Aku? Tidak yakin apakah kemudahan ini sebuah bonus atau justru bumerang yang akan menusukku pada akhirnya. Bisa-bisa karena terlena kemudahan, aku jadi malas mencari Tuhan, malas dekat-dekat denganNya. Sama seperti aku yang masuk UI tanpa tes jadi malas belajar, menganggap aku-pasti-bisa-toh-aku-masuk-dengan-mudah.
Aku juga ingin mencari Tuhan. Tapi bagaimana mencari sesuatu yang sudah kau temukan?
No comments:
Post a Comment