Wednesday, April 24, 2013

Bukan Milikku

Di Ruang Kuliah Parasitologi FKUI, kuperhatikan sudah beberapa hari buku itu tergeletak. Tak sengaja kutemukan saat sedang mencari salah satu barangku yang tertinggal, aku tertarik sekali dengan cover dan sinopsis belakangnya yang menggoda. "The Mysterious Benedict Society", begitu judulnya, dengan ilustrasi cover yang indah dan embel-embel "New York Times Bestseller", "Publishers Weekly Bestseller"serta sederet gelar bonafid lainnya. Kubuka halaman pertama, ada nama "Annisa" di situ, tapi aku tak kenal satu pun Annisa yang kira2 memiliki buku ini. Ragu, sempat ingin kupinjam sementara. Tapi tidak. Ini bukan milikku. Maka kuletakkan lagi di tempatnya di rak barang ketinggalan RK Parasitologi.

Sampai beberapa hari kemudian, buku itu masih terkulai tak ada yang mengklaim. Mubadzir benar, buku semenarik itu hanya bergoleran sia-sia. Akhirnya, dengan niat akan kuumumkan di milist angkatan FKUI 2010, ku"pinjam" sementara buku itu. Terlaksana sih, sudah kuumumkan dengan mencantumkan nomorku, bahwa siapa yang memiliki buku misterius ini harap menghubungiku. Masih diimbangi perasaan waswas apakah tindakanku "meminjam" ini benar. Sempat bertikai sebentar dengan nurani dan seorang teman dekat, yang menyiratkan sebaiknya aku tidak membawanya begitu saja.  Tapi didorong janji dalam hati "Akan segera kukembalikan di RK Parasitologi begitu selesai", kubawalah buku itu pulang. 

Tak sedikitpun kuduga, Allah mengingatkanku segera. Sore hari itu juga aku diajak beberapa teman melihat bintang di planetarium Jakarta. Kenapa tidak? Tempat itu toh hanya 10 menit jalan kaki dari tempat tinggalku, tapi aku belum berkesempatan ke sana. Lagipula belakangan ini aku sangat terpesona dengan taburan bintang dan kesetiaan mereka bergerak beriringan dengan teman sekonstelasinya. Sirius, Spica, Antares, sampai Vega. Ah, kuiyakan saja. 7000 ini biaya masuknya.

Lagi asik menonton perjalanan bintang-bintang, aku iseng merogoh tas mencari handphone pink kesayanganku, yang belum genap setahun kupunyai. Tak ada. Ah, barangkali terselip di dalam tas, pikirku. Lanjut lah mengagumi luasnya langit semesta.

Di akhir pertunjukan, kuminta salah satu teman menelpon handphoneku, dan benar saja, "nomor yang anda tuju sedang tidak aktif". Aku yakin benar baterai handphoneku masih penuh, dan tidak mungkin mati tidak sengaja. Anehnya saat itu aku merasa tidak begitu kaget dan sedih, seperti beberapa kali sebelumnya handphone direnggut orang. 

Langsung kuucap istighfar, dan mohon ampun pada Allah. Inilah balasannya, karena aku meminjam buku entah siapa tanpa ijin, kini handphoneku juga dipinjam entah siapa tanpa ijin. Lucu sekali ya, cara Allah mengingatkanku. Tunai. Telak. Aku tersenyum kecil. Yah, pantas sih aku menerima ini. Bukan masalah nilainya buku itu atau nilainya handphone pink penuh foto kenangan itu. Tapi ini pelajaran, seremeh apapun, serasional apapun defense mechanismku, seberniat apapun aku mengembalikannya, aku tetap mengambil yang bukan milikku. Dan Allah tidak suka itu. 

Ingat kisah seorang alim yang memakan buah jambu yang hanyut di sungai. Sudah kepalang dimakan, ia baru sadar itu buah tak jelas punya siapa. Ia merasa sangat berdosa dan menyusuri sungai mencari tahu siapa pemiliknya. Padahal kalau itu aku, yang namanya jambu hanyut ya mestinya jambu liar. Siapapun yang menemukan boleh memakannnya. Tapi Allah lebih suka ia memakan barang yang jelas halal. Saat ketemu pemilik pohon jambu, si pemilik tak ikhlas jambunya yang hanyut dimakan pemuda itu. Ia mau merelakannya, asal pemuda mau menikahi putrinya yang buta, tuli, dan bisu. Ih, siapa yang mau? Tapi karena pemuda itu tak mau darahnya terkotori barang haram (a.k.a jambu yang hanyut di sungai) ia menyetujui permintaan pemilik pohon jambu. Dan usut punya usut, ternyata putrinya justru cantik, sholehah, tak kurang suatu apa. Buta maksutnya buta terhadap segala kilau dunia, tuli maksutnya tak pernah mendengar setitik pun maksiat, dan bisu maksutnya tak pernah berkata satu kata pun yang menimbulkan murka Allah. Subhanallah, perjuangan mencari kehalalan berbuah manis.

Maka aku tidak sedih. Aku sepantasnya dibeginikan. Aku tidak berjuang cukup keras mencari pemilik buku itu meminta keikhlasannya. Bukan pangeran tampan dan sholeh yang kudapatkan (UPS) malah handphone kesayangan diambil orang. Haha. Terima kasih Allah, sudah diingatkan. Semoga balasan ini hanya di dunia saja, tidak di akhirat. Allahumma'jurnii fii mushiibatii, wakhluflii khairan minhaa. Semoga diganti yang lebih baik (iPhone5 mungkin?). Tak ada yang tak mungkin buat Allah. Mohon ampun dan berdoa, insya Allah pasti dikasih :)
the book in question :0

Saturday, April 20, 2013

Big Story about A Small Town

When Barry Fairbrother dies in his early forties, the town of Pagford is left in shock.

Pagford is, seemingly, an English idyll, with a cobbled market square and an ancient abbey, but what lies behind the pretty façade is a town at war.

Rich at war with poor, teenagers at war with their parents, wives at war with their husbands, teachers at war with their pupils ... Pagford is not what it first seems.

And the empty seat left by Barry on the parish council soon becomes the catalyst for the biggest war the town has yet seen. Who will triumph in an election fraught with passion, duplicity and unexpected revelations?

There's a small town in England called Pagford, where one day Barry Fairbrother dropped dead in one of it's "car park" (British words for "parking lot" :D). The whole town is shocked by his sudden death. Barry's allies in Pagford Parish Council are devastated because Barry's enemies can clear their way to their cause now that Barry's dead. His wife is grieving non stop. The girl he coached in Winterdown Highschool rowing team was shocked, and she made a really bad choice that destroyed her life. Barry's best friend's OCD worsens and his son became an insufferable git. Children turned on their parents, revealing their most shameful secrets in the Council's website under the name of "the ghost of Barry Fairbrother". 
The Casual Vacancy


At first, I tried to read the English version, but all the vivid rude languages and sexual acts that appeared in the first chapters bothered me so much. I stopped reading it for few weeks, then after I found out Mona has the Indonesian version, i decided to give it another try. Surprisingly, the book became less rude (Indonesia doesn't have many vocabulary on swear words, and they are so rarely used these days. Many Indonesians would curse in english, funnily enough) and i finally finished it!

I never read anything like this before; a political, character-focused, very realistic novel. I am all for fantasy books (thus, Harry Potter). Only because JK Rowling writes it that i want to have a try. And I'm not regretting it, although not too happy with it either. It gives me real insights of what's on people's minds.

I loved how everything feels so real here. Like the way Andrew stalked Gaia's facebook, how he scrolled along and checked if Marco and Gaia are still contacting each other. Or how Shirley and Mo compete to get the hottest gossip in the neighborhood. Or Terri tried to overcome her addiction in order to keep Robbie. Even Colin's OCD and Samantha's sick crushes on 19 year old boy she only can imagine, i think that's truly happening in people's heads. And it scared me. I'm almost grateful I'm not a mind reader, knowing even how saintly people can look from the outside, they can be very awful inside. Maybe the only downright good dude in this book is Barry Fairbrother himself (because he died in the very beginning, we don't have a chance to peek on his mind).

 As for Simon, yeah he's a jerk. But he showed his jerkiness very clearly, and that makes him not so detesting as Howard, who acts innocent but is rotten inside. I hate hypocrisy. But even Howard showed good attitude as a deli boss. Hmm. I really can't decide who's the worst of them. They're all bad and good! Even Stuart Wall, who's impossibly insufferable and awful, showed some remorse in the end.

My favorite character is Krystal. Her messy life and awful upbringing is not entirely her fault. Imagine having to put up with an addict mother who doesn't care about you! I'm sure eventhough she's outright b****, she has a sincere heart, showed by how she cared about Robbie, her bro. And it hurts really bad when she made one bad choice which resulted in (SPOILER ALERT) her heartbreaking end.

The ending itself is unexpectable. I'm not sure how i feel about it; it's sad, but it did good to many of the characters. I liked how Rowling connect the fateful ending to everyone. It's interesting too, that what's hurting Sukhvinder in the river is the computer Simon once disposed. And how that wound (and some other wounds) fixed her relationship with Parminder, her mother.

I feel bad for Sukhvinder. I understand her depression from Stuart Wall's cyber-bullying, but i just can't comprehend how cutting your self can do much good to overcome depression. And Parminder, why can't you listen to Sukhvinder just once? She's your daughter, however a failure she is to you, she needs her mother.

There's so much going on in this book. So many characters, and Rowling did a very good job in portraying their minds, all of them, each. Funny, because Pagford itself is a small town, yet the residents seem so many haha.
One thing i learned from this book, alcohol really did you no good! It makes your mind fuzzy, makes you angry, drives your tongue crazy, and points you to the worst decisions you'll regret for the rest of your life.

My overall opinion is that Rowling clearly shows the quality of a good writer. I am a potterhead alright, and who suspects the lady who creates the whimsical Wizarding World can create another world, completely the opposite to that of Harry Potter? In the end I have to admit, although the writing styles (long sentences, many commas, sarcastic similes) are all the same, the content is downright different. And I found I fall in love with Rowling's writing all over again :)

Monday, April 15, 2013

Cilaka

Allah bilang, "Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela". Mengingatkan bahaya lisan yang bisa membawa seseorang kepada siksa neraka. Cuma segumpal otot memang, tapi kalo ga dijaga, bisa cilaka. Karena itu, mulutmu harimaumu. Jaga bener2, jangan sampai terkotori oleh celaan, umpatan, kata2 kasar. Ada hadits bilang "kalau tidak bisa berkata yang baik, lebih baik diam"

Karena itulah, kalau saya marah atau dikuasai emosi negatif, saya diam. Saya tau mulut saya bisa mengucapkan berbagai sumpah serapah saat saya sedang merasa super ga enak, makanya saya memilih pasang muka emosi (pinginnya sih poker face but believe me i'm hopeless at hiding emotions) dan menutup mulut. diam. ga bales sms. ga angkat telpon.

dan sekalinya saya sudah ga tahan, mulut saya bisa jadi sangat kejam. hari ini saja contohnya, saya lagi bad mood parah (thanks to you hormones) dan ummi telpon saya. saya cuma menggerundel, sampai ummi nanya "kenapa sih kakak bete terus" dan tumpahlah itu semua emosi. memang cuma ummi sih manusia yg bisa nenangin saya.

atau malam ini. when someone i tried to avoid for some reason i shouldn't write here, out of nowhere texted me. dia tampaknya sudah berusaha menghubungi saya beberapa minggu ini. tapi y namanya try to avoid, kudiamkan saja. sampai akhirnya dia mengatakan sesuatu yg bikin saya teringat hadits ttg memutus silaturahmi ga akan masuk surga. jadi saya balas smsnya. dengan ketus. dengan dingin. yeah i'm that bad.

maafkan saya kalo kata2 saya menyakiti. saya menyesal. tapi saya takut kalau saya teruskan malah akan jadi rumit. karena itulah saya memilih diam. tolong jangan paksa saya untuk bicara. saya cuma butuh diam. tenang. sampai saya sudah stabil kembali.


Tuesday, April 2, 2013

NaPoWriMo

April is National Poetry Writing Month (NaPoWriMo for short, yeah i thought it's a bit lame name too :D) in the wordpress. I'm kinda interested in this, so i'm gonna participate.

courtesy of angela-t.deviantart.com

Shall i compare thee to a tree in autumn day?
Stands strong, tall and bright
Give shade to souls in delight
From the lazy sun bite
And from the cool wind tide

Thou bloom the most radiant leaves
rightly before thou lost them all

haha, what about it? I tried using Shakespearean english :p






Monday, April 1, 2013

Seeking God

Saya lagi suka banget dengan surat Al-An'am, lupa ayat berapanya, pokoknya kisah tentang Nabi Ibrahim mencari Tuhan. Dikisahkan Ibrahim yang tidak puas dengan berhala-berhala bikinan Ayahnya Azar, bertanya. "Kenapa Yah, kok masih menyembah berhala, padahal itu tuhan dibikin-bikin sendiri. Tidak pula ia bisa mendengar, apalagi menjawabmu. Menolong diri sendiri saja tidak bisa"

Ibrahim pun berjalan menyusuri muka bumi, sampai ia bertemu bintang, bulan, dan matahari. Semua dikiranya Tuhan. Semua dikaguminya, sampai akhirnya semua menghilang di ufuk barat. "Tuhan macam apa, aku tidak suka Tuhan yang ilang-ilangan"

Sampai akhirnya Tuhan yang sebenarnya, Tuhan dari bintang, bulan, matahari, menurunkan hidayah kepada Ibrahim. Sampai akhirnya ia menjadi seorang Nabi ulul azmi, alaihissalam.

Saya juga suka sekali dengan buku "99 cahaya di Langit Eropa", banyak sekali dikisahkan para muslim Eropa yang mayoritas lahir dan besar di benua sekuler, tidak mengenal Tuhan. Mereka pun harus mencari sendiri Tuhannya. Banyak cara, dari perkuliahan, minum vodka, sampai meditasi dan semuanya mentok, akhirnya berujung pada Tuhan yang hakiki.

Kalau kita telusuri lagi, manusia sejak dahulu kala, bahkan sebelum ia diturunkan ke rahim ibunya, sudah diambil sumpah bahwa ia akan menyembah Allah yang Maha Esa. "Alastu birobbikum? Tidakkah Aku ini Tuhanmu?" "Balaa, syahidnaa. Ya, kami bersaksi Engkaulah Tuhan." Lantas mengapa masih banyak orang ingkar yang melanggar sumpah mereka? Cuma satu alasan, orang tuanya lah yang membentuk mereka jadi Yahudi, Nasrani, Kafir, dsb dll.

Begitu juga dengan para muslim di Eropa sana. Mereka sudah distempel "ingkar" oleh orang tuanya, oleh lingkungannya. Ketika hati merasa tidak nyaman, berusaha menemukan fitrah hakiki hidup, mereka harus mencari sendiri di mana Tuhan dan kasihNya berada.

Mestinya mereka iri dengan saya. Saya yang lahir dan besar di kalangan keluarga muslim. Yang sejak lahir sudah dipaparkan dengan Tuhan, dengan kebesaranNya, dengan kemahaanNya dan nikmat hidayahNya. Sungguh hidup spiritualku kalau dibandingkan mereka-mereka itu beda banget. Sangat mudah jadi muslim di Indonesia, mayoritas, dengar adzan di mana-mana, masjid banyak, musholla banyak, bebas ngaji, bebas berhijab tanpa harus dicap teroris dan sebagainya.

Tapi kadang kutemukan diriku sendiri iri dengan mereka. Mereka menemukan Tuhan dengan cara masing-masing. Sendiri. Berjuang meraih hidayah yang sungguh tidak mudah di benua hedonis dan duniawi. Tapi bukankah ujung pencarian mereka tidak sia-sia? Bahwa Tuhan akhirnya meghargai usaha mereka dan merengkuh mereka dalam naungan rahmatNya? Aku cemburu. Aku tidak yakin dengan diriku sendiri. Ini sama saja dengan aku yang keterima di UI lewat jalur tanpa tes, fast track. Jalan mulus, langsung gol. Beda dengan teman-teman lain yang bersimbah peluh sikut menyikut lewat SIMAK, UMB, SNMPTN. Mereka sudah teruji, they are worth the struggle. Aku? Tidak yakin apakah kemudahan ini sebuah bonus atau justru bumerang yang akan menusukku pada akhirnya. Bisa-bisa karena terlena kemudahan, aku jadi malas mencari Tuhan, malas dekat-dekat denganNya. Sama seperti aku yang masuk UI tanpa tes jadi malas belajar, menganggap aku-pasti-bisa-toh-aku-masuk-dengan-mudah.

Aku juga ingin mencari Tuhan. Tapi bagaimana mencari sesuatu yang sudah kau temukan?