Friday, February 28, 2014

Places to be

  1. Mekkah
  2. Derawan Islands
  3. London Eye
  4. Central Park, NY
  5. Batu Secret Zoo
  6. Pont des Arts, Paris
  7. Ranu Kumbolo, Semeru
  8. Wakatobi
  9. Harry Potter studio tour
  10. Surga 0:))))

Tuesday, February 18, 2014

Just A Thought

Maybe it is my fault, not yours  

Insensitive

Dulu ketika saya kecil, pas main (?) ke rumah sakit atau puskesmas atau klinik selaluuuu mengernyitkan hidung. Tak lain tak bukan karena "bau rumah sakit" yang di hidung saya kecil terasa asing dan tak bersahabat. Baunya sulit dideskripsikan, pokoknya berkesan "sakit" dan "kinclong". Kini saat saya jadi koas yang sehari-hari kerjanya di RS, saya jadi heran dengan orang yang mengeluhkan bau rumah sakit. Emang ada baunya ya? :p Maklum, semenjak koas saya uda mencium berbagai macam bebauan yang aneh-aneh, mulai dari bau desinfektan biasa yang kita kenal "bau rumah sakit", bau "manis" alkohol, bau hangus luka bakar, bau pesing yang menguar dari pasien geriatri imobilisasi total, sampai bau asin busuk mayat tenggelam di laut yang baru ditemukan setelah 3 minggu. Bau rumah sakit? Ah, sel rambut di hidung saya udah adaptasi, sehingga tidak peka lagi sama bau rumah sakit kaya begituan. 

Rupanya mekanisme adaptasi ini tidak hanya terjadi di hidung, tapi juga di mata (lama-lama bisa melihat dalam gelap kan? itu namanya adaptasi gelap), di kulit (kita ga kerasa kalo lagi pake jam tangan atau baju kan?) bahkan di hati. Nah lho. Nyebut hati, maksutnya organ di abdomen regio hipokondria dextra yang terdiri dari dua lobus itu, atau "hati" yang lain? I mean hati the latter, the "heart". My heart. Your heart.

Kita manusia memang tergolong kingdom animalia. Tapi apa yang membedakan kita dari those lowly goats or chicken, adalah kita punya hati. Hati kita adalah karunia dari Allah, sebagai built in warning system yang berfungsi membedakan benar dan salah, dan mengingatkan kita untuk selalu melangkah di lajur yang benar. Kita terlahir dengan hati yang licin dan polos. Namun ia mudah sekali terlukai oleh berbagai penyakit hati: sombong, dengki, marah, dan berbagai nafsu angkara lainnya. Ia juga mudah ternodai saat pemiliknya berkontak dengan berbagai jenis dosa; berbohong, melihat hal yang tak pantas, meninggalkan sholat, dan lainnya. Hati yang berfungsi normal akan merasa kesakitan saat kita melukainya atau menodainya. Tapi layaknya hal lain di tubuh kita, hati juga beradaptasi. Semakin sering kita terpajan dengan berbagai macam penyakit dan kotoran hati, ia akan semakin kebal. Tidak lagi merasa sakit dan kotor. Ibarat lidah, ia sudah mati rasa.

Apa artinya? Sebejat-bejatnya manusia, pasti pada saat pertama kalinya ia berbuat jahat/berdosa, akan ada rasa tidak enak di hatinya. Itu adalah jeritan hati yang terciprat noda. Semua manusia demikian, ia tahu mana yang benar dan salah, mana yang mesti dihindari, mana yang baik untuk hati. Tapi begitu ia membiasakan hatinya terpapar noda-noda yang sama, lama-kelamaan hati akan mati rasa. Ia sudah tidak lagi merasa kesakitan saat berdosa. Mengerikan? Mestinya iya. Karena itu berarti hati sudah mati. Sudah terlalu bernoda. Kalo diibaratkan jaringan tubuh, jika terluka akan menyembuhkan diri dengan membentuk jaringan parut/fibrosis. Luka memang tertutup, tapi bagian yang luka itu tidak lagi merasa. Kalo semua bagian hati udah begitu, ibarat sirosis hati. Hatinya uda jaringan parut semua, uda keras, uda ga bisa merasa. Serem bukan? ;( Trus siapa dong yang ngingetin kalo berdosa? Enggak ada. Ia udah dengan entengnya melakukan dosa, ga malu dilihat orang, karena uda biasa aja. 

Saya sendiri kadang merasakan proses matinya hati ini. Merasa makin  ga peka dosa, makin jauh dari Allah. Itu mengerikan. Saya sadar akan hal itu, tapi saya tidak merasa sedih dan takut, tidak sesedih dan setakut dulu saat saya juga merasa jauh dari Allah. Sekarang sama-sama jauh, tapi respon hati saya terhadap kejauhan ini beda. Serem. Ini hati saya uda mulai berfibrosis-fibrosis. Kalo sudah begini, ga da pilihan lain selain ganti hati. Hati liver sih bisa transplan, kalo hati ini gimana gantinya? Dengan istighfar, dengan menghindari hal-hal yang kita tau merusak hati (walaupun uda mulai hipestesi, jangan sampe hati ini anestesi), dan bertekad akan selalu mendekatkan diri dengan obat hati (ada 5 perkaranya, yang pertama syalalalalala uda tau lah ya, pada dengerin Opick kan)

Ayo jaga hati, lentera hidup ini ;)

Thursday, February 6, 2014

Hooked on Cuckoo

The Cuckoo's Calling is a detective novel, that is one reason I am interested. But the main appeal for me (and for millions other people) is that JK Rowling wrote this book. I've talked about her awesomeness so many many times in the past, but still, when I finally finished it, my admiration towards her grow even more. This is another proof that she can write anything; from whimsical, magical world of Harry Potter, to the brute, ugly world of Casual Vacancy, and to the twisted, mysterious world of Cormoran Strike in The Cuckoo's Calling.

True that she wrote it under a pseudonym, true that most people buy the book after she confessed she is Robert Galbraith. Well, they won't be disappointed, because her style and ideas is just as great as ever.

Enough about JK Rowling. The book. It is about a detective name Cormoran Strike who was hired to investigate the unlikely-suicidal death of supermodel Lula Landry. It was Landry's adoptive brother who wept and begged Strike to take the case, because he did not believe her lovely sister would jump to her death after some happy afternoon chit-chat and night-clubbing. In his office, Strike was accompanied with a temporary secretary, Robin, who proofed herself efficient and useful in many ways.

Throughout the book, we are allowed to follow Strike doing his actual investigation, questioning important witnesses (though they did not realize their testimonials were that important) around London (Brits!). There was this cocaine-addict lady who said she heard a man confronted Landry the night she died, and that she actually saw Landry fell through her balcony. No one believed her, naturally, because her flat is perfectly soundproof, and the balcony window was closed and clean from any fingerprints, and it was snowing heavily outside. And there was the security man on duty that night, who answered every question Strike asked with self-confidence. And there were Landry's friends, with whom she spent her last afternoon, and Landry's on-off boyfriend, who was a druggie, and a main suspect of her murderer because he had a row with her that night in a club.

Although most of what the witnesses said seemed  incomprehensible and standing on their own, we are given the insight into Strike's mind, how he put the pieces together to form a really unexpectable answer. It was amazing how Strike can detect lies, sort the important information outta a seemed-unimportant gossip, and persuade people to answer him. I always admire detectives (even want to be one someday), but this is actually the first time i get to know how they do their work, from step one, slowly, towards the answer.

Who is the killer? How they get away from Landry's top security flat? Even more, was there any killer at all? Read for yourself. I guarantee you won't be disappointed. You may find the book is so slow-paced in the beginning, but just hang on, because the more pages you flip, the more surprises you'll find. Plus, the London setting is the book's another appeal (for me, at least). I just can't get enough britishness. Brit people are fascinating.

I tried to guess the answer myself (like I usually do when reading detective novels) but I have to admit that I am no good as detective. Ha ha. Try yourself. I gotta work my way, then,  :)