Dokter seringkali digambarkan sebagai makhluk setengah dewa.
Dengan jas putihnya yang perlente dan stetoskop yang terkalung di leher,
seorang dokter dianggap bisa memecahkan masalah apa saja. Pasien pun
berdatangan ke dokter dengan harapan penuh akan sembuh. Mereka bercerita bahkan
tidak hanya masalah kesehatan, tapi juga
masalah ekonomi, masalah keluarga, bahkan percintaan. Bayangkan saja apabila
bapak-bapak paruh baya complain soal istrinya yang main serong kepada seorang
dokter muda perempuan yang belum pernah berhubungan dengan laki-laki. Namun
memang beginilah kenyatannya. Di Indonesia, dokter dituntut untuk bisa dan tahu
segalanya.
Dulu ketika saya masih belum mengerti, impian saya tentang
dokter sederhana saja. Dokter harus bisa menyembuhkan apapun penyakit saya.
Dokter tidak boleh mangkir dari tugasnya menyembuhkan orang. Dokter juga harus
baik-baik terhadap pasien, karena pasien membayar untuk menemui dokter.
Namun kini setelah saya menempuh pendidikan dokter selama
tiga tahun lebih (yang jujur saja tidak pernah saya bayangkan sebelumnya saya
akan sekolah kedokteran), saya sadar bahwa menjadi dokter tidak melulu soal
menyembuhkan penyakit. Dokter lebih dituntut untuk memberikan rasa nyaman pada
pasien. Seperti ungkapan yang dulu akrab sekali di telinga saya saat mahasiswa
tingkat 1: to cure sometimes, to relieve
often, to comfort always.
Menyembuhkan, kadang-kadang. Pasien memang datang ke dokter
dengan harapan sembuh. Jadi sudah sepantasnya dokter berusaha sekeras mungkin
memenuhi harapan pasien dengan ilmu pengetahuan dan skill yang dipelajarinya
selama bertahun-tahun. Meskipun dokter (dan juga pasien) tak boleh lupa, bahwa
keputusan sehat sakit, hidup mati, semuanya ada di tangan Tuhan. Dokter hanya
perantara. Karena itulah, dokter menyembuhkan, kadang-kadang saja.
Meringankan beban, seringkali. Tentu tidak semua pasien yang
datang bisa dokter bantu sembuhkan. Dokter hanya manusia biasa, yang kebetulan
saja dititipi ilmu lebih mengenai tubuh dan penyakit manusia. Namun dokter
tetap bisa membantu meringankan penderitaan pasien, dengan meresepkan obat-obat
simptomatik ketika dibutuhkan, dengan mendengarkan keluh kesah pasien, dengan
memperhatikan apa saja kebutuhan pasien. Meskipun tidak sembuh sempurna, pasien
akan merasa lebih ringan dan menerima keadaannya apabila dokter terus
memberikan dukungan serta peduli akan keadaan pasien secara holistik. Tidak
hanya bertanya sepatah-dua patah kata, mencoret-coret kertas resep, kemudian
menyuruh pasien pergi, padahal masih banyak yang pasien ingin bagi dengan
dokter.
Memberikan rasa nyaman, selalu. Dokter tidak selalu bisa
menyembuhkan, tidak pula selalu bisa meringankan penderitaan pasien yang
kesakitan. Namun dokter harus selalu bisa membuat pasien merasa nyaman. Dengan selalu
ada untuk pasien. Dengan meyakinkan pasien bahwa ia tidak harus sendirian
menghadapi penyakitnya. Ada dokter yang akan menemani ia berjuang, dan
mendukung penuh akan untuk tercapainya keadaan pasien yang lebih baik. Bukan
hal yang mudah, memang. Namun bisa sangat membantu apabila dokter memposisikan
dirinya sebagai pasien; “bagaimana saya ingin diperlakukan jika saya yang
terbaring di sana?” Seyogyanya itu bisa menjadi panduan agar dokter selalu
mengutamakan pasien dan mengusahakan yang terbaik serta memberikan rasa nyaman
bagi pasien.