This short holiday, i pretty much had nothing to do. so on thursday i went to The Well-Renowned 'Perpustakaan Kota Malang'. Once, this Perpus was lame, i didnt have any interest of going there. But after the renovation in 2003, it becomes the coolest perpus ever! (after Perpus Pusat UI Depok if course, hehe)
Setelah perkembangannya yang luar biasa beberapa tahun terakhir ini, Perpustakaan Kota Malang (PKM) sudah disisihkan dari perlombaan perpustakaan secara nasional karena pasti menang dan membuat perpustakaan lain tak bisa bersaing. Hampir semua perpustakaan umum se-Indonesia sudah melakukan kunjungan kerja, studi banding, bahkan kerja magang, kecuali dari Papua dan NTT.
Dengan jumlah koleksi 130.000 buku, jumlah anggota aktif 41.000 orang, dan jumlah pengunjung 1.000 orang per hari kerja dan melonjak 2.000 orang per hari pada Sabtu dan Minggu, PKM inilah perpustakaan umum sebuah kota di Indonesia yang paling banyak dikunjungi.
Bahkan dibandingkan Perpustakaan Nasional di Jakarta sekalipun, jumlah pengunjungnya tak sampai 200 orang per hari. “Jumlah pengunjung kami hanya kalah dengan jumlah pengunjung rumah sakit atau mal,” kata HM Jemianto, Kepala Perpustakaan Kota Malang setengah bergurau.
Apalagi, tidak ada daya tarik lain di kompleks gedung perpustakaan ini. Tidak ada plasa, mal, pasar, atau bangunan menarik lainnya. Orang yang datang ke PKM hanya memiliki keperluan berkunjung ke perpustakaan. Tanpa mengurangi hormat kepada pengelola perpustakaan umum lain se-Indonesia, fenomena menggejalanya PKM sangat boleh jadi secara nasional hanya terjadi di Malang.
Jemianto, tentu bersama 42 karyawan PKM, ada di balik seluruh sukses itu, semenjak gedung perpustakaan direnovasi tahun 2002-2003,dan menjadi pusat kunjungan masyarakat terpenting di Kota Malang. Tentu yang amat penting disebut peran Wali Kota Malang Peni Soeparto, yang membangun visi PKM ini.
“Beliau yang menggagas membesarkan biaya renovasi dari perpustakaan yang sepi menjadi seramai sekarang, dari semula Rp 2,7 miliar menjadi lebih Rp 5 miliar tahun 2004,” katanya.
Kini PKM memiliki ruang seluas 10.000 m2, tiga lantai termasuk aula besar yang sudah menjadi tempat menghelat berbagai acara talk show dengan kehadiran narasumber sekelas Permaisuri Raja Jawa Gusti Kanjeng Ratu Hemas, penulis Dewi Lestari, hingga produser Mira Lesmana dan sutradara Riri Reza.
Patut ditambahkan, para seniman dan budayawan sekaliber Soenaryo, pemilik galeri “Selasar Soenaryo” di Bandung, atau Romo Sindhunata, pastor dan budayawan yang amat produktif menulis buku. Ini karena PKM juga memiliki sarana ruang pamer, yang bisa jadi satu-satunya yang representatif di Kota Malang, bernama “Anjungan Ken Arok”.
Sepanjang tahun 2009 ini, sudah ada 119 pameran seni rupa di anjungan ini. Tahun 2010, jadwal sudah padar hingga April 2010. Ini belum termasuk pameran buku nasional, yang mencapai tiga kali setahun.
“Penjualan buku di pameran PKM, bahkan melebihi nilai penjualan pameran yang sama di Surabaya dan Bandung,” tutur Jemianto.
Ia menilai, Kota Malang bukannya sepi dari perpustakaan lain selain PKM. Sebab di Malang ada tiga PTN besar, dengan jumlah mahasiswa masing-masing belasan ribu hingga lebih dari 20.000, Masing-masing memiliki perpustakaan yang tidak sepele, juga dengan teknologi informasi yang maju dan jumlah keanggotaannya yang besar. Ini belum menghitung PTS, yang (pula) memiliki fasilitas perpustakaan yang amat maju.
Ini menjadikan Kota Malang, menurut pendapat Jemianto, layak disebut sebagai Kota Perpustakaan. Mungkin kata yang lebih tepat adalah Kota Buku. Atau, demi membangun pemahaman yang lebih mendasar, Kota Malang patut memproklamirkan dirinya sebagai Kota Membaca.
Kota dengan budaya baca, yang entah disadari warganya entah tidak, sangat(lah) kuat, sehingga komunitas baca dan tulis tumbuh subur. Penjelasan lebih lanjutnya tentu berhubungan dengan posisi Kota Malang sebagai kota lokasi perguruan tinggi selama ini yang jumlahnya mencapai lebih seratusan lembaga dalam berbagai kategori, mulai lembaga kursus hingga universitas.
Jemianto sebagai kepala perpustakaan mengaku sudah pula membandingkan pengelolaan buku dan keanggotaan PKM dengan kota-kota lain di dunia. Di antaranya yang terbaik di dunia adalah Singapura, yang memiliki sistem pengelolaan buku 100 persen swalayan. Di mana peminjam bisa mengembalikan buku 24 jam, lewat mesin-mesin seperti ATM.
“Kami juga sudah menggunakan TI, dan jika mau bisa seperti Singapura. Tetapi budaya masyarakat kota terbukti lebih nyaman dengan kehadiran petugas. Anggota merasa kurang sreg kalau tidak ada petugas,” katanya.
Sumber :
Kota Pepustakaan, Buku, dan Membaca – Dody Wisnu Pribadi | Kompas, 30.12.2009